Apa Itu Politik Identitas? Kenali Lebih Jauh Tentang Konsep Baru Kajian Politik Tersebut.

Win-air-solution.com, Jakarta — Politik identitas merupakan salah satu sistem, yang dipangkali atas keselarasan terpaut struktur gerakan sosial dalam publik. Ruang lingkup gerakan politik yang dapat ditafsirkan sebagai politik identitas amat lebar, salah satu ilustrasinya  dalam seni sastra filosofis.

Perihal tinjauan mengenai politik identitas, dapat disimpulkan selaku biasa jika sistem politik ini di dasari pada keselarasan publik yang terpinggirkan, ataupun yang berupaya menghimpun stamina untuk menindas kelompok-kelompok terpilih.

Politik identitas mempunyai keselarasan dan tujuan, untuk mewujudkan stamina berasas denah politiknya. Terdapatnya ketidakpuasaan yang muncul dari dalam publik yang terpinggirkan, memberikan barisan politik sebagai pengganti untuk merangkum stamina dalam menjalankan rencana kerakyatan.

Ekspresi “politik identitas” juga ialah semacam samsak filosofis bagi bermacam kritik. Kerapkali tantangan kandas untuk memperjelas entitas kritik mereka, memanfaatkan “politik identitas” sebagai sketsa ensiklopedis yang menimbulkan bermacam kekecewaan politik diam-diam.

Seterusnya ini definisi mengenai politik identitas yang Liputan6.com merangkup dari bermacam pangkal, Kamis (29/12/2022).

 

Fikrah dan Identitas

Semenjak awal tahun 1970-an, politik identitas sebagai medium pengorganisasian dan serangkaian posisi filosofis politik sudah mendapati banyak serbuan oleh mereka yang termotivasi untuk membuktikan kekurangannya, baik dengan pembedaan pragmatisnya ataupun lebih terprogram. Politik identitas, bagi para penilai berkarakter faksional dan depolitisasi, mengalihkan atensi dari kebobrokan kapitalisme akhir mengarah fasilitas budaya suprastruktur, yang membiarkan struktur ekonomi tidak beralih.

Pemanfaatan sebutan “identitas” yang kontroversial mendatangkan beberapa persoalan filosofis. Kecuali pemakaian rasional, tentang itu boleh jadi dekat bagi para filsuf dari seni sastra dalam makulat mengenai identitas individu, yang menyangkut perasaan diri seorang dan kegigihannya. Mewartakan dari situs Plato Stanford terpaut polemik pragmatis guna politik identitas, ialah persoalan filosofis mengenai watak subjektivitas dan diri (Taylor 1989). Charles Taylor berpandangan jika identitas modern dicirikan oleh penekanan pada suara batinnya dan kapasitas untuk kesucian—yaitu, keterampilan untuk mendeteksi metode hidup yang mungkin macam apa sepadan untuk diri sendiri (Taylor 1994).

Bagi sebagian pendukung politik identitas, syarat akan keaslian ini meliputi himbauan pada masa saat sebelum penyiksaan, ataupun budaya ataupun metode hidup yang dirusak oleh penjajahan, kolonialisme, ataupun sampai-sampai genosida. Sistem pemerintahan adat menciptakan nilai-nilai politik yang khas, berselisih selaku radikal dari arus utama. buah pikiran supremasi Barat (individu dan alam) jelas tidak ada di tempat mereka kita mendeteksi kesesuaian, kemandirian, dan rasa khidmat.

 

Politik Identitas bagi Para pakar

Politik identitas bertumpu pada hubungan antara sesuatu pengalaman terpilih, dan posisi subjek yang dihubungkan dengannya, dan sebabnya pada agregasi klaim mengenai arti pengalaman yang sarat politik terhadap beraneka ragam perseorangan. Kadang arti yang dikasihkan pada pengalaman terpilih, akan berselisih dari subjeknya. Memahami kesenjangan pengertian semacam itu, tergantung pada sistem yang mengetahui divergensi antara akun epistemik kuat dan pemahaman yang ditundukkan (Alcoff 2018).

Beberapa para pakar seterusnya memberikan pengertian perihal politik identitas, sebagai seterusnya:

Abdillah (2002)

Bagi Abdillah politik identitas merupakan politik yang dasar utama kajiannya, dijalani untuk merangkul keselarasan tas dasar tamsil-tamsil terpilih, baik tamsil agama, rasial, dan juga persamaan dalam kategori genitalia.

 

Cressida Heyes

Bagi tinjauan Cressida, politik identitas dalam definisisna merupakan sesuatu kategori kegiatan politik yang dapat dikaji selaku teoritik, berasas pada pengalaman-pengalaman persamaan da ketidakadilan yang dirasakan oleh golongan-golongan terpilih, akibatnya menghimpun kesatuan untuk menaikan drajat dan martabatnya.

 

Stuart Hall

Politik identitas dimaknai sebagai sesuatu cara yang dibentuk via sistem dasar pulih individu, sistem ini rejadi karena terdapatnya ketidakpuasaan dalam mendapati bermacam rupa masalah-masalah sosial yang berlangsung.

 

Liberalisme dan Politik Identitas

Kerakyatan liberal yang terinstitusionalisasi merupakan kondisi kunci, dari kelihatannya politik identitas kontemporer. Dengan terdapatnya pengorganisasian masyarakat negeri yang menciptakan kerakyatan, juga mewujudkan dan merangkum kelompok-kelompok yang sebelumnya terpinggirkan oleh politik, sedangkan perluasan hak-hak resmi mengundang keinginan akan kesetaraan material dan simbolik. Sedikitnya akibat yang dirasakan yang ditawarkan oleh kapitalisme liberal, bagaimanapun, menekan bentuk-bentuk kritik radikal yang berupaya mengatakan ketidaksetaraan yang terus-menerus.

Pada jenjang filosofis setidaknya dasar, penilai liberalisme melaporkan jika ontologi sosial liberal, di mana bentuk watak dan hubungan antara subjek dan beramai-ramai selaku salah arah. Ontologi sosial dari separuh besar teori politik liberal terdiri dari masyarakat negeri, yang dikonsepkan sebagai perseorangan yang pada dasarnya sejenis, semacam misalnya dalam pengkajian gagasan John Rawls yang populer dengan memanfaatkan “posisi asli”, di mana perwakilan masyarakat negeri selaku transendental membebaskan seluruhnya identitas ataupun hubungan terpilih.

Pada jenjang filosofis, penjelasan liberal mengenai subjek politik dan hubungannya dengan kolektivitas terlihat tidak layak untuk meyakinkan keterwakilan gadis, laki-laki gay dan lesbian, ataupun kelompok ras-etnis (M. Williams 1998). Dibutuhkan penjelasan yang lebih berlimpah mengenai subjek politik, yang dibentuk via dan oleh posisi sosial mereka. Selaku privat, sejarah dan pengalaman ketidakadilan, dapat membawa perspektif dan kepentingan terpilih yang tidak dapat diasimilasi via institusi yang ada.